19.5.09

adu cepat..


tatapan itu..
dan sorot matamu
menyinari dengan terang
terang yang meneduhkan hati..

tatapan itu..
masuk di sela-sela gelap
menembus dan melubangi dinding rasaku..
membentuk aksara penuh makna

melesat sangat kencang
berpacu dengan derap kaki angin
berlari sejajar dengan roda waktu
yang memanggilku untuk beradu cepat..

ingin rasanya kupenuhi panggilan itu
tetapi aku lupa..
aku tak mampu menaklukkan waktu..

terima kasih hati kecil..
kau telah mengingatkanku..

13.5.09

rindu pada bayangan..


Kamu disana, dan terlihat jelas..

Dibalik angin
Sejauh jarak
Sedekat pelupuk mata

Aku bisa menggapainya
Tetapi tak tersentuh
Karena hanya bayangmu yang kuraih

Bayang itu tetap indah tetapi tetap saja tak nyata
Ada segumpal rindu yang tak mau pecah disini
Walau sudah kupalu berkali-kali

Kalaupun pecah..
Kepingannya akan kembali menghujam
Menancap di sela-sela ruang hampa yang melayang-layang..

11.5.09

datanglah pelangi..

Jangan datang dulu gelap..
Aku masih menunggunya disini
Di setiap hujan dan penghujung hentinya

Saat dimana pelangi datang menoreh di lembaran langit

Izinkan aku menyapanya lewat rasa takjub
Memandang lengkungmu yang bagai punggung bersujud
Bertutur keindahan dengan warna-warna ajaibmu

Wahai pelangi..
Benarkah kau siapkan anak tangga disana
Yang bisa kunaiki untuk bertemu ayahku..

Aku ingin segera menaikinya..
Sesegera seperti rindu yang menguat ini
Berjumpa ayah dengan jalan do’a yang terkhusuk
Bertemu di salah satu ruang waktu yang berhenti

Walau untuk sejenak..

7.5.09

diskriminasi masih terjadi


Beberapa hari lalu ketika baru saja kumulai malam sambil menunggu dipanggil kantuk aku masih berkesempatan menonton sebuah film dokumenter dengan judul “pertaruhan” yang di dalamnya berisi empat film dokumenter dengan tema berbeda tetapi dibungkus ke dalam satu bingkai isu yang sama yaitu tentang perempuan, film dokumenter pertama berjudul “mengusahakan cinta” mengisahkan tentang tenaga kerja wanita asal Indonesia yang menjadi buruh migran di Hongkong, ia memiliki tumor di dalam rahimnya yang mengharuskannya untuk melakukan operasi pengangkatan tumor tersebut tanpa perlu mengangkat rahimnya karena ia masih gadis, sementara kekasihnya di Indonesia malah mempertanyakan masalah kegadisannya, film dokumenter kedua berjudul “Untuk Apa” mengisahkan tentang praktek sunat bagi perempuan yang masih menjadi kontroversi terhadap tujuan dilakukannya sunat untuk perempuan itu karena mitos yang menyesatkan juga masih dipercayai hingga saat ini, film dokumenter ketiga berjudul “Nona Nyonya?” mengisahkan tentang kaum prempuan yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksinya melalui pap smear, dan para dokter itu mempertanyakan status mereka terlebih dahulu karena pemeriksaan ini dapat mengakibatkan robeknya selaput dara, lantas bagaimana dengan para lajang yang pernah melakukan hubungan seks pra nikah, vonis-vonis bersalah tampaknya malah menjadi yang di pentingkan ketimbang kekhawatiran terdeteksinya kanker servics, hal ini semakin memperlihatkan bahwa perempuan masih belum sepenuhnya memiliki hak atas tubuhnya sendiri, film dokumenter keempat berjudul “Ragat’e Anak” mengisahkan 2 orang perempuan pekerja seks komersil yang ketika malam menjajakan tubuhnya di kompleks pekuburan cina dan ketika siang menjadi pemecah batu untuk menghidupi dirinya dan anak mereka.

Itulah menariknya sebuah film dukumenter menurutku karena menceritakan dan mengambil dari gambar atau kejadian nyata yang sesungguhnya benar-benar terjadi, memotret langsung dari pelaku sesungguhnya bukan dari aktor atau aktris yang diberikan sejumlah peran tertentu, ada tema diskriminasi terhadap kaum perempuan yang berhasil diangkat pada film dokumenter kali ini diantara sekian banyak isu perempuan yang belum terangkat ke permukaan, semoga semakin mendapat perhatian di tingkat yang lebih banyak dari masyarakat sehingga mendorong adanya perubahan ke arah lebih baik bagi kaum perempuan.
Related Posts with Thumbnails